Senin, 31 Januari 2011

Sahabat Nabi Saad bin Abi Waqqas

Saad bin Abi Waqqas adalah Panglima Perang Umat Islam Penolakan kaisar Persia membuat air mata Saad bercucuran. Berat baginya melakukan peperangan yang harus mengorbankan banyak nyawa kaum Muslim dan non Muslim.
Kepahlawanan Saad bin Abi Waqqas tertulis dengan tinta emas saat memimpin pasukan Islam melawan melawan tentara Persia di Qadissyah. Peperangan ini merupakan salah satu peperangan terbesar umat Islam.
Bersama tiga ribu pasukannya, ia berangkat menuju Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan veteran perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah. Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan.
Pasukan ini berkemah di Qadisiyyah di dekat Hira. Untuk melawan pasukan Muslim, pasukan Persia yang siap tepur berjumlah 12O ribu orang dibawah panglima perang kenamaan mereka, Rustum.
Sebelum memulai peperangan, atas instruksi Umar yang menjadi khalifah saat itu, Saad mengirim surat kepada kaisar Persia, Yazdagird dan Rustum, yang isinya undangan untuk masuk Islam. Delegasi Muslim yang pertama berangkat adalah Numan bin Muqarrin yang kemudian mendapat penghinaan dan menjadi bahan ejekan Yazdagird.
Untuk mengirim surat kepada Rustum, Saad mengirim delegasi yang dipimpin Rubiy bin Aamir. Kepada Rubiy, Rustum menawarkan segala kemewahan duniawi. Namun ia tidak berpaling dari Islam dan menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan kemewahan lebih baik yaitu surga.
Para delegasi Muslim kembali setelah kedua pemimpin itu menolak tawaran masuk Islam. Melihat hal tersebut, air mata Saad bercucuran karena ia terpaksa harus berperang yang berarti mengorbankan nyawa orang Muslim dan non Muslim.
Setelah itu, untuk beberapa hari ia terbaring sakit karena tidak kuat menanggung kepedihan jika perang harus terjadi. Saad tahu pasti, bahwa peperangan ini akan menjadi peperangan yang sangat keras yang akan menumpahkan darah dan mengorbankan banyak nyawa.
Ketika tengah berpikir, Saad akhirnya tahu bahwa ia tetap harus berjuang. Karena itu, meskipun terbaring sakit, Saad segera bangkit dan menghadapi pasukannya. Di depan pasukan Muslim, Saad mengutip Alquran surat Al Anbiya ayat 105 tentang bumi yang akan dipusakai oleh orang-orang shaleh seperti yang tertulis dalam kitab Zabur.
Setelah itu, Saad berganti pakaian kemudian menunaikan sholat Dzuhur bersama pasukannya. Setelah itu dengan membaca takbir, Saad bersama pasukan Muslim memulai peperangan. Selama empat hari, peperangan berlangsung tanpa henti dan menimbulkan korban dua ribu Muslim dan sepuluh ribu orang Persia. Peperangan Qadisiyyah merupakan salah satu peperangan terbesar dalam sejarah dunia. Pasukan Muslim memenangi peperangan itu.
Saad lahir dan besar di kota Makkah. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Orang-orang selalu membandingkannya dengan singa muda.
Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disayangi kedua orangtuanya, terutama ibunya. Meski berasal dari Makkah, ia sangat benci pada agamanya dan cara hidup yang dianut masyarakatnya. Ia membenci praktik penyembahan berhala yang membudaya di Makkah saat itu.
Suatu hari dalam hidupnya, ia didatangi sosok Abu Bakar yang dikenal sebagai orang yang ramah. Ia mengajak Saad menemui Muhammad di sebuah perbukitan dekat Makkah. Pertemuan itu mengesankan Saad yang baru berusia 20 tahun.
Ia pun segera menerima undangan Muhammad SAW untuk menjadi salah satu penganut ajaran Islam yang dibawanya. Saad kemudian menjadi salah satu sahabat yang pertama masuk Islam.
Saad sendiri secara tidak langsung memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW. Ibunda rasul, Aminah binti Wahhab berasal dari suku yang sama dengan Saad yaitu dari Bani Zuhrah. Karena itu Saad juga sering disebut sebagai Saad of Zuhrah atau Saad dari Zuhrah, untuk membedakannya dengan Saad-Saad lainnya.
Namun keislaman Saad mendapat tentangan keras terutama dari keluarga dan anggota sukunya. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri. Selama beberapa hari, ibunda Saad menolak makan dan minum sehingga kurus dan lemah. Meski dibujuk dan dibawakan makanan, namun ibunya tetap menolak dan hanya bersedia makan jika Saad kembali ke agama lamanya. Namun Saad berkata bahwa meski ia memiliki kecintaan luar biasa pada sang ibu, namun kecintaannya pada Allah SWT dan Rasulullah SAW jauh lebih besar lagi.
Mendengar kekerasan hati Saad, sang ibu akhirnya menyerah dan mau makan kembali. Fakta ini memberikan bukti kekuatan dan keteguhan iman Saad bin Abi Waqqas. Di masa-masa awal sejarah Islam, kaum Muslim mengungsi ke bukit jika hendak menunaikan shalat. Kaum Quraisy selalu mengalangi mereka beribadah.
Saat tengah shalat, sekelompok kaum Quraisy mengganggu dengan saling melemparkan lelucon kasar. Karena kesal dan tidak tahan, Saad bin Abi Waqqas yang memukul salah satu orang Quraisy dengan tulang unta sehingga melukainya. Ini menjadi darah pertama yang tumpah akibat konflik antara umat Islam dengan orang kafir. Konflik yang kemudian semakin hebat dan menjadi batu ujian keimanan dan kesabaran umat Islam.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah meminta para sahabat agar lebih tenang dan bersabar menghadapi orang Quraisy seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran surat Al Muzammil ayat 10. Cukup lama kaum Muslim menahan diri. Baru beberapa dekade kemudian, umat Islam diperkenankan melakukan perlawanan fisik kepada para orang kafir. Di barisan pejuang Islam, nama Saad bin Abi Waqqas menjadi salah satu tonggak utamanya.
Ia terlibat dalam perang badar bersama saudaranya yang bernama Umair yang kemudian syahid bersama 13 pejuang Muslim lainnya. Pada perang Uhud, bersama Zaid, Saad terpilih menjadi salah satu pasukan pemanah terbaik Islam. Saad berjuang dengan gigih dalam mempertahankan Rasulullah SAW setelah beberapa pejuang Muslim meninggalkan posisi mereka. Saad juga menjadi sahabat dan pejuang Islam pertama yang tertembak panah dalam upaya mempertahankan Islam.
Saad juga merupakan salah satu sahabat yang dikarunai kekayaan yang juga banyak digunakannya untuk kepentingan dakwah. Ia juga dikenal karena keberaniannya dan kedermawanan hatinya. Saad hidup hingga usianya menjelang delapan puluh tahun. Menjelang wafatnya, Saad meminta puteranya untuk mengafaninya dengan jubah yang ia gunakan dalam perang Badar. Kafani aku dengan jubah ini karena aku ingin bertemu Allah SWT dalam pakaian ini,ujarnya.

Sahabat Nabi Umar bin Khattab

Umar bin Khattab (581 – November 644) (bahasa Arab: عمر بن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga menjadi khalifah kedua (634-644) dari empat Khalifah Ar-Rasyidin.
Ia memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza, terlahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy. Orangtuanya bernama Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan Hantamah binti Hasyim.
Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.
Sebelum Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang ia katakan sendiri, “Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku”.
Mabuk-mabukan juga merupakan hal yang umum dikalangan kaum Quraish. Beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali. Tetapi, setelah masuk Islam, belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas. Sehingga ada kisah, Pada malam hari, Umar bermabuk-mabukkan sampai Subuh. Ketika waktu Subuh tiba, beliau pergi ke masjid dan ditunjuk sebagai imam. Ketika membaca surat Al-Kafirun, karena ayat 3 dan 5 bunyinya sama, setelah membaca ayat ke 5, beliau ulang lagi ke ayat 4 terus menerus. Akhirnya, Allah menurunkan larangan bermabuk-mabukkan yang tegas.
Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, Umar mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraish (menyembah berhala). Pada saat itu Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya.
Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.
Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.
Umar adalah salah seorang yang ikut pada peristiwa hijrah ke Yathrib (Madinah) pada tahun 622 Masehi. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW
Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad.
Setelah sakit dalam beberapa minggu, Nabi Muhammad SAW wafat pada hari senin tanggal 8 Juni 632 (12 Rabiul Awal, 10 Hijriah), di Madinah.
Persiapan pemakamannya dihambat oleh Umar yang melarang siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Ia berkeras bahwa Nabi tidaklah wafat melainkan sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu. (Hayatu Muhammad, M Husain Haikal)
Abu Bakar yang kebetulan sedang berada di luar Madinah, demi mendengar kabar itu lantas bergegas kembali. Ia menjumpai Umar sedang menahan muslim yang lain dan lantas mengatakan.
“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah mati. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati.”
Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur’an : “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (surat Ali ‘Imran ayat 144)
Umar lantas menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk menggantikannya.
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di jaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk, seorang budak pada saat ia akan memimpin shalat. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk terhadap Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.

Sahabat Nabi Utsman bin Affan

Utsman bin Affan (bahasa Arab: عثمان بن عفان) (sekitar 574 – 656) adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang ke-3. Usman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan. Dialah yang berjasa membeli sumur dari orang Yahudi yang memonopoli air di Madinah. Beliau juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur’an. Beliau adalah kalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 hingga 656.

Sahabat Nabi Uwais Al-Qarny

Uwais Al-Qarny (Arab: أويس القرني) (meninggal 657) adalah penduduk dari Qaran di Yaman.
Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.
Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata, “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al-Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.
Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.
Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur.
Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.
Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Di ceritakan ketika terjadi Pertempuran Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat?
Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya.
Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, “Pergilah wahai anakku! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais.
Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang.
Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”.
Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.
Rasulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. dan sayyidina Umar bin Khattab r.a. dan bersabda, “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.
Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais.
Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais al-Qorni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka.
Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah, “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata, “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”.
Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais, waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air.
Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. “Wahai waliyullah,” Tolonglah kami!” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi, “Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!” Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata,
“Apa yang terjadi ?”
“Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak?” tanya kami.
“Dekatkanlah diri kalian pada Allah!” katanya.
“Kami telah melakukannya.”
“Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaani rrohiim!”
Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut.
Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”. “Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? “Tanya kami.
“Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat.
Kemudian kami berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya harta yang ada dikapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.”
“Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.
“Ya, “jawab kami. Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke Rahmatullah.
Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.
Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)
Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.
Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud

Ia adalah orang yang pertama kali mengumandangkan Al-Qur’an dengan suara merdu.
Sebelum Rasulullah masuk kerumah Arqam, Abdullah bin Mas’ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah SAW. Dengan demikian, ia termasuk golongan pertama yang masuk Islam.
Pertemuannya yang mula-mula dengan Rasulullah itu diceritakannya sebagi berikut:
“Ketika itu saya masih remaja, mengembalakan kambing kepunyaan ‘Uqbah bin Mu’aith. Tiba-tiba datang Nabi Muhammad SAW bersama Abu bakar, dan bertanya, “Hai nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami? “Aku orang kepercayaan,” ujarku, “dan tak dapat memberi anda minuman…!”
Maka sabda Nabi SAW, “Apakah kamu punya kambing betina mandul yang belum dikawini oleh yang jantan…?” “Ada,” ujarku. Lalu saya bawa ia kepada mereka. Kambing itu diikat kakinya oleh Nabi lalu di sapu susunya sambil memohon kepada Allah SWT. Tiba-tiba susu itu berair banyak, kemudian Abu Bakar mengambilkan sebuah batu cembung yang di gunakan Nabi untuk menampungan perahan susu. Lalu Abu bakar minumlah dan saya pun tidak ketinggalan… setelah itu, Nabi menitahkan kepada susu, “Kempislah!” maka susu itu menjadi kempis…
Setelah peristiwa itu saya mendatangi Nabi, kataku, “Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebut!” Ujar Nabi SAW, ” Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!”
Alangkah heran dan ta’jubnya Ibnu Mas’ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang shalih dan utusan-Nya yang di percaya memohon kepada Tuhannnya sambil menyapu ke susu hewan yang belum pernah berair selama ini, tiba-tiba mengeluarkan kurnia dan rizqi dari Allah berupa air susu murni yang enak buat di minum…!
Pada saat itu belum disadarinya bahwa peristiwa yang disaksikannya itu hanyalah merupakan mu’jizat paling enteng dan tidak begitu berarti, dan bahwa tidak berapa lama lagi dari Rasulullah SAW yang mulia ini akan di saksikannya mu’jizat yang akan mengguncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya.
Bahkan pada saat itu juga belum di ketahuinya, bahwa yang dirinya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai pengembala kambing milik ‘uqbah bin Mu’aith, akan muncul sebagai salah satu dari mu’jizat ini, yang setelah di tempa oleh Islam akan menjadi seorang beriman, dan akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukan kesewenangan para pemukanya.
Maka ia, yang selama ini tidak berani lewat dihadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menjingkatkan kaki dan menundukan kepala, di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di didepan para majlis para bangsawan si sisi Ka’bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk berkumpul, lalu berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan wahyu Illahi Al-Qur’anul Karim:
“Bismillahirrahmaanirrahiim…
Allah yang Maha Rahman…
Yang telah mengajarkan Al-Qur’an…
Menciptakan insan…
Dan menyampaikan padanya penjelasan…
Matahari dan bulan beredar menurut…
Perhitungan…
Sedang bintang dan kayu-kayuan sama…
Sujud kepada Tuhan…
Lalu di lanjutkannya bacaanya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka… dan tak tergambar dalam fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka…, tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan pengembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy… yaitu Abdullah bin Mas’ud, seorang yang miskin yang hina dina…!
Marilah kita dengan keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat manarik dan mena’jubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair r.a. katanya:
“Yang mula-mula menderas Al-Qur’an di Mekah setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud r.a. pada suatu hari para sahabat Rasulullah SAW berkumpul, kata mereka, “Demi Allah orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikitpun Al-Qur’an ini di baca dengan suara keras di hadapan mereka. Nah, siapa diantara kita yang bersedia mendengarkannya kepada mereka…?”
Maka kata Abdullah bin Mas’ud, “Saya.” Kata mereka, “Kami khawatir akan keselamatan dirimu! Yang kami inginkan adalah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan mempertahankan dari orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat…” “Biarkanlah saya!”kata Abdullah bin Mas’ud pula, “Allah pasti membela.”
Maka datanglah Abdullah bin Mas’ud kepada kaum Quraisy di waktu Dhuha, yakni ketika mereka berada di balai pertemuannya… Ia berdiri di panggung lalu membaca “Bismillahirrahmaanirrahiimi” dan dengan mengeraskannya suaranya; Arrahman…’allamal Qur’an…
Lalu sambil menghadap kepada mereka di terusksanlah bacaannya. Mereka memperhatikannya sambil bertanya sesamanya, “Apa yang di baca oleh anak si Ummu’Abdin itu…? Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Muhammad!”
Mereka bangkit mendatanginya dan memukulinya, sedang Abdullah bin Mas’ud membacanya sampai batas yang di kehendaki Allah… Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak belur ia kembali kapada para sahabat. Kata mereka, “Inilah yang kami khawatirkan tentang dirimu…!” Ujar Abdullah bin Mas’ud, “Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagiku dari menghadapi musuh-musuh Allah itu! Dan seandainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka lagi dan berbuat yang sama esok hari…!” Ujar mereka, “Cukuplah demikian! Kamu telah membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!”
Benar, pada saat Abdullah bin Mas’ud tercengang melihat susu kambing tiba-tiba berair sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama kawan-kawan senasib dari golongn miskin tidak berpunya, akan menjadi salah satu mu’jizat besar dari Rasulullah saw, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya cahaya siang dan sinar matahari. Tidak di ketahuinya bahwa saat itu telah dekat… Kiranya secepat itu hari datang dan lonceng waktu telah berdentang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta serta merta menjadi suatu mu’jizat di antara berbagai mu’jizat Rasulullah SAW …!
Dalam kesibukan dan perpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata… Bahkan di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak…! Tak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitupun di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang berpengaruh.
Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam soal pengaruh, maka derajatnyapun di bawah… tapi sebagai ganti dari kemiskinnaya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan perolehan yang cukup dari perbendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, di anugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menundukan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia terlunta-lunta, Islam telah melimpahnya ilmu pengetahuan, kemuliaan, serta ketetapan yang menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan.
Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan jauh Rasulullah SAW ketika beliau mengatakan padanya, “Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar.” Ia telah di beri pelajaran oleh Tuhannya hingga menjadi faqih atau ahli hukum ummat Muhammad saw, dan tulang punggung para huffadh Al-Qur’anul Karim.
Mengenai dirinya ia pernah mengatakan, “Saya telah menampung 70 surat Al Qur’an yang dengan langsung dari Rasulullah saw tiada seorang pun yang menyaingiku dalam hal ini…”
Dan rupanya Allah SWT memberinya anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan Al-Qur’an secara terang-terangkan dan menyebarluaskannya di segenap pelosok kota Mekah di saat siksaan dan penindasan merajalela, maka di anugerahi-Nya bakat istimewa dalam membawakan bacaan Al-Qur’an dan kemampuan luar biasa dalam memahami arti dan maksudnya.
Rasulullah saw telah memberi wasiat kepada para sahabat agar mengambil Abdullah bin Mas’ud sebagai teladan, sabda Rasulullah SAW, “Berpegangteguhlah pada kepada ilmu yang diberikan oleh ibnu ummi ‘Abdin…!
Diwashiatkannya pula agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca Al-Qur’an dari padanya. Sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang ingin hendak membaca Al Qur’an tepat seperti di turunkan, hendaklah ia membacanya seperti Ibnu Ummi ‘Abdin…!”
Sungguh, telah lama Rasulullah menyenangi bacaan Al-Qur’an dari mulut Ibnu Mas’ud…
Pada suatu hari ia memanggilnya sabdanya, “Bacakanlah kepadaku, hai Abdullah!”
“Haruskah aku membacakannya pada anda, wahai Rasulullah…?”
Jawab Rasulullah, “Saya ingin mendengarnya dari mulut orang lain.”
Maka Ibnu Mas’ud pun membacanya di mulai dari surat An-Nisa hingga pada sampai firman Allah ta’ala, “Maka betapa jadinya bila Kami jadikan dari setiap ummat itu seorang saksi, sedangkan kamu Kami jadikan sebagai saksi bagi mereka…! Ketika orang-orang kafir yang mendurhakai Rasulullah SAW sama berharap kiranya mereka disama ratakan dengan bumi…! Dan mereka tidak dapat merasahasiakan pembicaraan dengan Allah…!” (Q. S. An-Nisa: 41-42)
Maka Rasulullah SAW tak dapat menahan tangisnya, air matanya meleleh dan dengan tangannya di isyaratkan kepada Ibnu Mas’ud yang maksudnya, “Cukup…, cukuplah sudah, hai Ibnu Mas’ud…!”
Suatu ketika pernah pula Ibnu Mas’ud menyebut-nyebut karunia Allah kepadanya, katanya, “Tidak suatu pun dari Al-Qur’an itu yang di turunkan, kecuali aku mengetahui mengenai peristiwa apa yang di turunkannya. Dan tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripadaku. Dan sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat di capai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang Kitabullah daripadaku, pastilah aku akan menemuinya. Tetapi aku bukanlah yang terbaik di antaramu!”
Keistimewaan Ibnu Mas’ud ini telah diakui oleh para sahabat. Amirul Mu’minin, Umar, berkata mengenai dirinya, “Sungguh ilmunya tentang fiqih berlimpah-limpah.”
Dan berkata Abu Musa Al Qur’an-Asy’ari, “Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah selama kyai ini berada pada tuan-tuan!”
Tidak hanya keunggulannya dalam Al-Qur’an dan ilmu fiqih saja yang patut beroleh pujian, tetapi juga keunggulannya dalam keshalihan dan ketakwaan.
Berkata Hudzaifah tentang dirinya, “Tidak seorangpun saya lihat yang lebih mirip Rasulullah saw baik dalam cara hidup, perilaku dan ketenangan jiwanya, dari pada Ibnu Mas’ud… dan orang-orang yang di kenal dari sahabat-sahabat Rasulullah saw sama mengetahui bahwa puteranya dari Ummi ‘Abdin adalah yang paling dekat kepada Allah…!”
Pada suatu hari serombongan sahabat berkumpul pada Ali Karamullahu Wajhah (semoga allah memuliakan wajah atau dirinya), lalu kata mereka kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, kami tidak melihat orang yang lebih berbudi pekerti, lebih lemah lembut dalam mengajar, begitupun yang lebih baik pergaulannya, dan lebih shalih dari pada Abdullah bin Mas’ud…!” Ujar Ali, “Saya minta tuan-tuan bersaksi kepada Allah, apakah ini betul-betul tulus dari hati tuan-tuan…?” “Benar,” ujar mereka.
Kata Ali pula, “Ya Allah, saya mohon Engkau menjadi saksinya,bahwa saya berpendapat mengenai dirinya seperti apa yang mereka katakan itu, atau lebih baik dari itu lagi… Sungguh, telah di bacanya Al Qur’an, maka dihalalkannya barang yang halal dan di haramkannya barang yang haram…, seorang yang ahli dalam soal keagamaan dan luas ilmunya tentang as-Sunnah…!”
Suatu ketika para sahabat memperkatakan pribadi Abdullah bin Mas’ud, kata mereka, “Sungguh, sementara kita terhalang, ia diberi restu, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan (tingkah laku Rasulullah SAW)…”
Maksud mereka ialah bahwa Abdullah bin Mas’ud beruntung mendapat kesempatan berdekatan dengan Rasulullah saw, suatu hal yang jarang di dapat oleh orang lain. Ia lebih sering masuk kerumah Rasulullah SAW dan menjadi teman duduknya. Dan lebih-lebih lagi ia ialah tempat Rasulullah SAW menumpahkan keluhan dan mempercayakan rahasianya, hingga ia di beri gelar “Peti Rahasia.”
Berkata Abu Musa Al-Qur’an-Asy’ari, “Sungguh setiap saya melihat Rasulullah saw, pastilah Ibnu Mas’ud berada menyertainya…”
Adapun yang menjadi sebab ialah karena Rasulullah SAW amat menyayanginya, terutama keshalihan dan kecerdasannya serta kebesaran jiwanya, hingga Rasulullah SAW pernah bersabda mengani dirinya, “Seandainya saya hendak mengangkat seseorang sebagai amir tanpa musyawarat dengan kaum muslimin, tentulah yang saya angkat itu Ibnu Ummi ‘Abdin…”
Dan telah kita kemukakan wasiat Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, “Berpegang teguhlah kepada ilmu Ibnu Ummi ‘Abdun!”
Maka kesayangan dan kepercayaan ini memungkinkannya untuk bergaul rapat dengan Rasulullah saw, hingga ia beroleh hak yang tidak di berikannya kepada orang lain, bersabda Rasulullah SAW kepadanya, “Saya idzinkan kamu bebas dari tabir hijab…!”
Ini merupakan lampu hijau bagi Ibnu Mas’ud untuk masuk rumah Rasulullah saw dan pintunya senantiasa terbuka baginya, biar siang maupun malam, dan inilah yang pernah di perkatakan oleh para sahabat , “Sementar kita terhalang, ia di beri izin, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan…”
Dan memang Ibnu Mas’ud banyak untuk memeproleh keistimewaan ini… Karena walupun pergaulan rapat seperti ini akan memberikan padanya keuntungan, tetapi Ibnu Mas’ud hanya bertambah khusu’, tambah hormat dan sopan santun…
Mungkin gambar yang melukiskan akhlaknya secara tepat, ialah sikapnya ketika menyampaikan hadith dari Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Walaupun ia jarang menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW, tetapi kita lihat setiap ia menggerakan kedua bibirnya untuk mengatakan, “Saya dengar Rasulullah saw menyampaikan hadits dan bersabda…,” maka tubuhnya gemetar dengan amat sangat, dan ia tampak gugup dan gelisah. Sebabnya tiada lain karena takutnya akan alpa, hingga bersalah menaruh kata di tempat yang lain…!
Marilah kita dengarkan kawan-kawanya melukiskan gejala-gejala ini! Berkatalah ‘Amar bin Maimun:
“Saya bolak-bolak kerumah Abdullah bin Mas’ud ada setahun lamanya, dan selama itu tak pernah saya dengar ia menyampaikan hadits dari Rasulullah SAw, kecuali sebuah hadits yang di sampaikannya pada suatu hari. Dari mulutnya mengalir ucapan: ‘Telah bersabda Rasulullah SAW, tiba-tiba ia kelihatan gelisah hingga tanpak keringat bercucuran dari keningnya.’ Kemudian katanya megulangi kata-kata yang tadi, ‘Kira-kira demikianlah disabdakan oleh Rasulullah SAW…’”
Dan bercerita Al-Qamah bin Qais:
Biasanya Abdullah bin Mas’ud berpidato setiap hari Kamis sore menyampaikan Hadits. Tidak pernah saya dengar ia mengucapkan, “Telah bersabda Rasulullah SAW,” kecuali satu kali saja… disaat itu saya melihat ia bertelekan tongkat, dan tongkatnya itupun bergetar dan bergerak-gerak…”
Dan di ceritakan pula oleh Masruq mengenai Abdullah ini:
“Pada suatu hari Ibnu Mas’ud menyampaikan sebuah Hadits, katanya, “Saya dengar Rasulullah SAW…” Tiba-tiba ia jadi gemetar, dan pakainnya bergetar pula… kemudian katanya, “Atau kira-kira demikian…, atau kira-kira seperti itulah…”
Nah, sampai sejauh inilah ketelitian, penghormatan dan penghargaannya kepada Rasulullah SAW… disamping menjadi bukti ketaqwaannya, ketelitian, dan penghormatannya ini merupakan tanda kecerdasannya…!
Orang yang lebih banyak bergaul dengan Rasulullah SAW, penilaiannya tehadap kemuliaan Rasulullah SAW lebih tepat… dan itulah sebabnya adab sopan santunnya terhadap Rasulullah saw ketika beliau masih hidup, begitupun kenangan kepada beliau setelah wafatnya, merupakan adab sopan santun satu-satunya dan tak ada duanya…!
Ibnu Mas’ud tak hendak berpisah dari Rasulullah saw baik di waktu bermukim maupun di waktu bepergian. Ia telah turut mengambil bagian dalam setiap peperangan dan pertempuran. Dan peranannya dalam perang badar meninggalkan kenangan yang tak dapat di lupakan, yakni rubuhnya Abu Jahal oleh tebusan pedang kaum muslimin pada hari yang keramat itu…
Khalifah-khalifah dan para sahabat Rasulullah SAW mangakui kedudukannya ini, hingga ia diangkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai Bendaharawan di kota Kufah. Kepada penduduk waktu mengirimnya itu mengatakan:
“Demi Allah yang tiada Tuhan mealinkan dia , sungguh saya lebih mementingkan tuan-tuan dari pada diriku, maka ambilah dan pelajarilah ilmu dari padanya…!”
Dan penduduk Kufah telah mencintainya, suatu hal yang belum pernah di peroleh orang-orang sebelumnya, atau orang yang setaraf dengannya… Sungguh, kebulatan penduduk Kufah untuk mencintai seseorang, merupakan suatu hal yang mirip dengan mu’jizat… sebabnya ialah karena mereka biasa menentang dan memberontak, mereka tidak tahan menghadapi hidangan yang serupa…, dan tidak mampu hidup selalu dalam aman tenteram…!
Dan karena kecintaan mereka kepadanya demikian rupa, sampai-sampai mereka mengerumuni dan mendesaknya sewaktu ia hendak di perhentikan oleh Khlaifah Utsman r.a dari jabatannya, kata mereka, “Tetaplah anda tinggal bersama kami di sini dan jangan pergi, dan kami bersedia membela anda dari mala petaka yang menimpa anda!”
Tetapi dengan kalimat yang menggambarkan kebesaran jiwa dan ketaqwaannya, Ibnu Mas’ud menjawab, katanya, “Saya harus taat kepadanya, dan dibelakang hari akan timbul fitnah, dan saya tak ingin menjadi orang yang mula-mula membukakan pintunya…!”
Pendirian mulia dan terpuji ini mengungkapkan kepada kita hubungan Ibnu Mas’ud dengan khalifah Utsman r.a. Di antara mereka telah terjadi perdebatan dan perselisihan yang makin lama makin sengit, hingga gaji dan tunjangan pensiunannya di tahan dari baitulmal. Walau demikian, tidak sepatah kata pun yang tidak baik, kelauar dari mulutnya mengenai Utsman, bahkan ia berdiri sebagai pembela dan memperingatkan rakyat ketika di lihatnya persekongkolan di masa Utsman itu telah meningkat menjadi suatu pemberontakan. Dan ketika terbetik berita ketelinganya mengenai percobaan untuk membunuh Khalifah Utsman itu, keluarlah dari mulutnya ucapan yang terkenal:
“Sekiranya mereka membunuhnya, maka tak ada lagi orang yang sebanding dengannya yang akan mereka angkat sebagai khalifah…” Dalam pada itu, di antara kawan-kawan Ibnu Mas’ud ada yang berkata, “tak pernah saya dengar Ibnu Mas’ud mengeluarkan cercaan satu kata pun terhadap Utsman…”
Allah SWT telah menganugerahinya hikmah sebagaimana telah memberinya sifat taqwa. Ia memiliki kemampuan untuk melihat yang jauh ke dasar yang dalam, dan mengungkapnya secara menarik dan tepat.
Marilah kita dengar ucapannya yang menggambarkan kesimpulan hidup yang istimewa dari Umar dengan kata-kata singkat tapi padat dan mena’jubkan, katanya, “Islamnya mereka suatu kemenangan…, hijrahnya mereka pertolongan…, sedang pemerintahannya menajdi suatu rahmat.”
Berbicara tentang apa yang dikatakan orang seakrang tentang relativitas masa, ia mengatakan, “Bagi Tuhan kalian tiada siang dan malam…! Cahaya langit dan bumi itu bersumber dari cahayanya…!”
Ia juga berbicara tentang pekerja dan betapa pentingnya mengangkat taraf budaya kaum pekerja ini katanya, “Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang menganggur tak ada usahanya untuk kepentingan dunia, dan tidak pula untuk kepentingan akhirat.”
Dan diantara kata-katanya yang bersayap ialah:
“Sebaik-baik kaya ialah kaya hati;
sebaik-baik bekal ialah taqwa;
seburuk-buruk buta ialah buta hati;
sebesar-besar dosa ialah berdusta;
sejelek-jelek uasaha ialah memungut riba;
seburuk-buruk makanan ialah memakan harta anak yatim;
siapa yang memaafkan orang akan di maafkan Allah;
dan siapa yang mengampuni orang akan diampuni Allah.”
Nah, itulah gambaran singkat Abdullah bin Mas’ud sahabat Rasulullah SAW; dan itulah dia, kilasan dari suatu kehidupan besar dan perkasa yang dilalui pemiliknya di jalan Allah dan Rasul-Nya serta Agama-Nya.
Itulah dia, laki-laki yang ukuran tubuhnya seumpama tubuh burung merpati, kurus dan pendek, hingga badannya tidak akan berapa bedanya dengan orang yang sedang duduk. Kedua betisnya kecil dan kempes, yang tampak ketika ia memanjat dan memetik dahan pohon arak untuk di gunakan Rasulullah SAW. Para sahabat sama menetertawakannya ketika melihat kedua betisnya itu. Maka bersabdalah Rasulullah SAW, “Tuan-tuan menetertawkan betis Ibnu Mas’ud , keduanya disisi Allah lebih berat timbangannya dari gunung Uhud!”
Memang, inilah dia orang yang berasal dari keluarga miskin, buruh upahan, kurus dan hina, tetapi keyakinan dan keimanannya telah menjadikannya saah seorang imam di antara imam-imam kebaikan, petunjuk dan cahaya.
Ia telah di karunia taufiq dan ni’mat oleh Allah yang menyebabkannya termasuk dalam golongan “sepuluh orang sahabat Rasulullah SAW yang pertama masuk Islam,” yakni orang-orang yang selagi hidupnya telah menerima berita gembira beroleh ridla Allah SWT dan surga-Nya.
Ia telah terjun dan tak pernah absen dalam setiap perjuangan yang berakhir dengan kemenangan di masa Rasulullah saw, begitupun di masa Khalifah sepeninggal beliau. Dan dia turut menyaksikan dua buah imperiaum dunia membukakan pintunya dengan tunduk dan patuh di masuki panji-panji Islam dan ajarannya.
Disaksikannya jabatan-jabatan yang tersedia dan menunggu orang-orang Islam yang mau mendudukinya, begitu pun harta yang tidak terkira banyaknya bertumpuk-tumpuk di hadapan mereka, tetapi tidak satupun yang mengusik dan melupakannya dari janji yang telah di ikrarkannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, atau merintangi dari garis hidup dan ketekunan ibadat yang di liputi rasa khsusu’ dan tawadlu’.
Dan diantar keinginan dan cita-cita hidup, tidak satupun yang menarik hatinya kecuali sebuah, yakni yang selalu di rindukan, menjadi bauh bibir dan senandungnya, serta menjadi angan-angan untuk mendapatkannya.
Nah, marilah kita simak, kata-kata yang ia sendiri menceritakan hal itu kepada kita:
“Aku bangun di tengah malam, ketika itu aku mengikuti Rasulullah SAW di perang Tabuk. Maka tampaklah olehku nyala api di pinggir perkemahan, lalu kudekati untuk melihatnya. Kiranya Rasulullah SAW bersama Abu Bakar dan Umar. Rupanya mereka sedang menggali kuburan untuk Abdullah Dzulbijadain An-Muzanni yang ternyata telah wafat. Rasulullah SAW ada di dalam lubang kubur itu, sementara Abu Bakar dan Umar mengulurkan jenazah kepadanya. Rasulullah SAW bersabda, “Ulurkanlah lebih dekat padaku saudara tuan-tuan itu…! Lalu mereka mengulurkan kepadanya. Dan tatkala di letakkannya di lubang lahat, beliau berdo’a, “Ya Allah, aku telah ridla kepadanya, maka ridla’i pula ia oleh-Mu! Alangkah baiknya sekiranya akulah yang menjadi pemilik liang kubur itu!”
Nah, itulah dia satu-satunya cita-cita yang di harapkan dan di angan-angankan selagi hidupnya.
Dan sebagai anda ketahui, ia tak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan sesuatu untuk di kejar-kejar dan di perebutkan orang, berupa kemuliaan, kekayaan, pengaruh atau jabatan.
Hal ini karena cita-citanya adalah cita-cita seorang tokoh yang mendapat petunjuk dari Allah SWT memperoleh tuntutan dari Al-Qur’an, dan menerima didikan dari Rasulullah SAW.

Sahabat Nabi Abdullah bin Ummi Maktum

Siapakah laki-laki itu, yang karenanya Nabi yang mulia mendapat teguran dari langit dan menyebabkan beliau sakit? Siapakah dia, yang karena peristiwanya Jibril al-Amin harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati Nabi yang mulia? Dia tidak lain adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muazzin Rasulullah.
Abdullah Ummi Maktum, orang Mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasulullah SAW, yakni anak paman ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid r.a. Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya Atikah binti Abdullah. Ibunya bergelar “ummi maktum”, karena anaknya, Abdullah, lahir dalam kedaan buta total.
Ketika cahaya Islam mulai memancar di Mekah, Allah melapangkan dada Abdullah bin Ummi Maktum menerima agama baru itu. Karena itu, tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai muslim kelompok pertama, Abdullah turut menanggung segala macam suka dan duka kaum muslimin di Mekah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti yang diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindak kekerasan lainnya. Tetapi, apakah karena tindak kekerasan itu lantas Ibnu Ummi Maktum menyerah? Tidak?! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan, dia semakin teguh berpegang pada agama Islam dan kitab Allah (Alquran). Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majlis Rasulullah.
Begitu rajin dan rakusnya dia mendatangi majlis Rasulullah, menyimak dan menghafal Alquran, sehingga tiap waktu senggang selalu diisinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu direbutnya. Karena rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkan dari Rasulullah, disamping keuntungan bagi yang lain-lain juga.
Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah SAW sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, seraya mengharap semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Saifullah Khalid bin Walid.
Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau. Sementara, beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang mengganggu minta dibacakan kepada ayat-ayat Alquran. Kata Abdullah, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda!”
Rasulullah terlengah memperdulikan permintaan Abdullah. Bahkan, beliau agak acuh terhadap interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam bertambah kuat dan dakwah bertambah lancar. Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah SAW bermaksud pulang. Tetapi, tiba-tiba penglihatan beliau menjadi gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul.
Kemudian, Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran itu suatu peringatan. Maka siapa yang menghendaki, tentulah ia memperbaikinya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (Abasa: 1 — 6).
Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril al-Amin ke dalam hati Rasulullah SAW sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.
Sejak hari itu Rasulullah SAW tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilakan duduk di tempat duduknya, beliau tanyakan keadaannya, dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan Abdullah sedemikian rupa, bukankah teguran dari langit itu sangat keras!
Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi-jadi, Allah SWT mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah. Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama-sama Mush’ab bin Umair, sahabat-sahabat Rasul SAW yang pertama-tama tiba di Madinah. Setibanya di Yatsrib (Madinah), Abdullah dan Mush’ab segera berdakwah, membacakan ayat-ayat Alquran dan mengajarkan pengajaran Islam.
Setelah Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau mengangkat Abdullah bin Ummu Maktum serta Bilal bin Rabah menjadi muadzdzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid (azan) lima kali sehari semalam, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal azan, Abdullah Qamat; Abdullah azan, Bilal qamat.
Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal azan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk makan sahur dan Abdullah azan ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa.
Untuk memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum, beberapa kali Rasulullah mengangkatnya menjadi wali kota Madinah menggantikan beliau apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada Abdullah. Salah satu di antaranya ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Mekah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.
Setelah perang Badar, Allah menurunkan ayat-ayat Alquran, mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati Abdullah Ummi Maktum. Tetapi, baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi perang.” Kemudian, dia memohon kepada Allah dengan hati yang penuh tunduk semoga Allah menurunkan ayat-ayat yang menerangkan tentang orang-orang yang cacat (uzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak berperang. Dia senatiasa berdoa dengan segala kerendahan hati. Dia berkata, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang uzur seperti aku!” Tidak berapa lama, kemudian Allah SWT memperkenankan doanya.
Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah SAW yang bertugas menuliskan wahyu, menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah SAW Tiba-tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulis, hai zaid!” Lalu aku menuliskan, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah.” (An-Nissa’: 95).
Ibnu Ummi Maktum berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang) karena cacat?” Selesai pertanyaan Abdullah, Rasulullah SAW terdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah SAW berkata, “Coba, baca kembali yang telah engkau tulis!” Aku membaca, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang)” Lalu kata beliau, “Tulis!” “Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.”
Maka, turunlah pengecualian yang ditunggu-tunggu Ibnu Ummi Maktum. Meskipun Allah SWT telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang uzur seperti dia untuk tidak berjihad, dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekad untuk turut berperang fi sabiilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan yang besar. Maka, karena itu dia sangat gandrung untuk turut berperang dan menetapkan tugasnya sendiri untuk berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.
Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.”
Tahun ke empat belas hijriyah, khalifah Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintah yang dzalim dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. Umar memerintahkan kepada setiap gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya. “Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang yang bersenjata, atau orang yang mempunyai kuda, atau yang berani atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”
Maka, berkumpullah kaum muslimin di Madinah dari segala penjuru, memenuhi panggilan khalifah Umar bin Khaththab. Di antara mereka terdapat seorang prajurit buta, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Khalifah Umar mengangkat Sa’ad bin Abu Waqqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian, khalifah memberikan instruksi-instruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.
Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyyah, Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu.
Pada hari ketiga perang itu, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka, pindahlah kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin, dan runtuhlah mahligai yang termegah. Berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.
Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa dan ratusan para syuhada. Di antara mereka yang syahid itu terdapat Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk darah kaum muslimin.

Abu Darda

Uwaimir bin Malik al-Khazraji yang lebih dikenal dengan nama Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Setelah itu, dia menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa di dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar, sesudah itu patung tersebut diberinya pakaian baru dari sutera yang megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.
Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Darda masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya. Tiba-tiba jalan di Yastrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati keramaian dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu Darda menanyakan kepadanya keberdaan Abdullah bin Rawahah. Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati-hati pertanyaan Abu Darda, karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda dengan Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda tetap dalam kemusyrikan. Tetapi, hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan keduanya menjadi putus. Karena, Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda sewaktu-waktu untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda, karena umurnya dihapiskan dalam kemusyrikan.
Abu Darda tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila di atas kursi, sibuk jual beli dan mengatur para pelayan. Sementara itu, Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda. Sampai di sana dia melihat Ummu Darda di halaman rumahnya.
“Assalamu’alaiki, ya amatallah,” (Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah) kata Abdullah memberi salam.
“Wa’alaikassalam, ya akha Abi Darda’”(Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda), jawab Ummu Darda.
“Ke mana Abu Darda?” tanya Abdullah.
“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda.
“Bolehkah saya masuk?” tanya Abdullah.
“Dengan segala senang hati, silakan!” jawab Ummu Darda.
Ummu Darda melapangkan jalan bagi Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu, lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “Ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!” Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah.
Ummu Darda masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya petung telah hancur berkeping-keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda meratap menampar-nampar kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakan saya, hai Ibnu Rawahah.” Tidak berapa lama kemudian Abu Darda pulang dari toko. Ia mendapati istrinya sedang duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.
“Mengapa engkau menangis?” tanya Abu Darda.
“Teman Anda, Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,” jawab Ummu Darda.
Abu Darda menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah berkeping-keping, maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari Abdullah. Tetapi, setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya, “Seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Maka, ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari Abdullah bin Rawahah. Bersama-sama dengan Abdullah, dia pergi kepada Rasulullah SAW dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau. Sejak detik pertama Abu Darda iman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia iman dengan sebenar-benar iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu, kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang mendalam tentang agama Allah ini, hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan takwa yang selalu mereka tanamkan dalam dirinya di sisi Allah. Karena itu, dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sunggu sekalipun dia berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang telah berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungannya dengan dunia; mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari Alquran dengan tekun dan menghafal ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya terganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majlis-majlis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaanya tanpa ragu-ragu dan tanpa menyesal.
Berkenaan dengan sikapnya yang tegas itu, orang pernah bertanya kepadanya. Maka, dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah, saya menjadi seorang pedagang. Maka, setelah masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput salat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.” Kemudian, saya menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan, Allah Ta’ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak menganggu saya untuk dzikrullah (berzikir).”
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda. Kata yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa. Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”
Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama dengan mereka.” Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.
Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama; tetangga senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.
Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan harga dua dirham?”
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya; jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok seorang laki-laki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan dicaci-maki mereka. Abu Darda datang menghampiri, lalu bertanya, “Apa yang telah terjadi?
Jawab mereka, “Orang ini jatuh ke dalam dosa besar.”
Kata Abu Darda, “Seandainya dia jatuh ke dalam sumur, tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”
Jawab mereka, “Tentu!”
Kata Abu Darda, “Karena itu, janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi, berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari dosanya.”
Tanya mereka, “Apakah Anda tidak membencinya?”
Jawab Abu Darda, “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, dia adalah saudara saya.” Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.
Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda dan berkata kepadanya, “Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!”
Jawab Abu Darda, “Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.
Hai anakku! Jadilah kamu pengajar atau menjadi pelajar atau menjadi pendengar. Dan, janganlah sekali-kali menjadi yang keempat (yaitu orang bodoh), karena yang keempat pasti celaka. Hai anakku! Jadikanlah masjid menjadi tempat tinggalmu, karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Setiap masjid adalah tempat tinggal orang yang bertakwa. Allah SWT menjanjikan bagi orang yang menjadikan masjid sebagai tempat tinggalnya, kesenangan, kelapangan rahmat, dan lewat di jalan yang diridai Allah Taala.”
Abu Darda pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lintas. Abu Darda mengampiri mereka dan berkata kepadanya, “Hai anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah duduk-duduk di pinggir jalan dan di pasar-pasar, karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.
Ketika Abu Darda tinggal di Damsyiq, Gubernur Muawiyah bin Abu Sufyan melamar anak gadis Abu Darda, yaitu Darda, untuk putranya, Yazid. Abu Darda menolak lamaran Muawiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda, dengan Yazid (putra Gubernur). Bahkan, Darda dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak orang kebanyakan. Abu Darda menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda, dan berbisik-bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda dilamar oleh Yazid bin Muawiyah, tetapi lamarannya ditolak. Kemudian Abu Darda mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”
Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda,”Mengapa Anda bertindak seperti itu.”
Jawab Abu Darda, “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab Abu Darda, “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda ketika itu?”
Pada suatu waktu ketika Abu Darda berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda, ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilakan Khalifah Umar untuk duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing-masing tidak melihat kawannya berbicara. Khalifah Umar meraba-raba bantal alas duduk Abu Darda, kiranya sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda, kiranya berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian-pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.
Kata Khalifah Umar, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukan Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”
Jawab Abu Darda, “Ingatkah Anda hai Umar sebuah hadist yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”
Tanya Umar, “Hadist apa gerangan?”
Jawab Abu Darda, “Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia seperti perbekalan seorang pengendara (yaitu secukupnya dan seadanya).”
Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!” Kata Abu Darda, “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”
Khalifah Umar menangis, Abu Darda pun menangis pula. Akhirnya, mereka berdua bertangis-tangisan sampai waktu subuh.
Abu Darda menjadi guru selama tinggal di Damsyiq. Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan kitab (Alquran) dan hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.
Tatkala Abu Darda hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung.
Mereka bertanya, “Sakit apa yang Anda rasakan?”
Jawab Abu Darda, “Dosa-dosaku!”
Tanya, “Apa yang Anda inginkan?”
Jawab, “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir di sekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah, Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”
Abu Darda senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir. Setelah Abu Darda pergi menemui Tuhannya, Auf bin Malik al-Asyja’iy bermimpi. Dia melihat dalam mimpinya sebuah padang rumput yang luas menghijau. Maka, mengambanglah bau harum semerbak dan muncul suatu bayangan berupa sebuah kubah besar dari kulit. Sekitar kubah berbaring hewan ternak yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dia bertanya, “Milik siapa ini?”
Jawab, “Milik Abdur Rahman bin Auf.”
Abdur Rahman muncul dari dalam kubah. Dia berkata kepada Auf bin Malik, “Hai, Ibnu Malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Alquran. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”
Tanya Auf bin Malik, “Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?
Jawab, “Disediakan Allah Taala untuk Abu Darda, karena dia telah menolak dunia dengan mudah dan lapang dada.”

Sahabat Nabi

Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah

Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah SAW dengan tangan kanannya sambil bersabda, “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah.”
Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bantuan bagi Amar bin ‘Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar.
Siapakah sahabat yang mula pertama disebut sebagai amirul umara atau panglima besar ini.
Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan ompong karena patah dua gigi mukanya.
Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Khattab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya, “Seandainya Abu ‘Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu tentulah, “Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya.”
Ia adalah Abu ‘Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah. Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah SAW mengambil rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia ikut hijrah ke Habsy pada kali kedua. Ia kembali pulang agar dapat mendampingi Rasulullah di perang Badar, perang Uhud, dan pertempuran-pertempuran lainnya. Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai seorang kuat yang dipercaya mendampingi Abu Bakar dan kemudian Umar dalam pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan keteguhan.
Ketika Abu ‘Ubaidah bai’at atau sumpah setia kepada Rasulullah SAW akan membangkitkan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna kata-kata yang tiga ini: berjuang dijalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan kepadanya apa saja yang diperlukan berupa darma bakti dan pengurbanan.
Semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai’at kepada Rasulullah, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan pada jalan-Nya demi mencapai keridhaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah itu.
Maka tatkala Abu ‘Ubaidah telah menepati janji yang dilakukan oleh para sahabat lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta dihadiahkan Rauslullah kepadanya, dengan sabdanya:
“Orang kepercayaan ummat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah.”
Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu ‘Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol. Umpamanya waktu perang Uhud, dari gerak gerik dan jalan pertempuran, diketahuinya bahwa tujuan utama dari orang-oarng musyrik itu adalah bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi untuk menghabisi riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya untuk selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.
Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka, merambah dan mendesak tentara berhala yang hendak melampiaskan maksud jahat mereka untuk memadamkan nur Ilahi. Setiap suasana medan pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah SAW, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati cemas dan jiwa gelisah. Jika dilihatnya ada bahaya yang mengancam Nabi, maka ia bagaikan disentakan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya.
Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh; tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Hampir saja ia gelap mata, melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Terlihatlah pedangnya yang sebilah itu berkelibatan, tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang mendapatkan Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya Rasulullah, Al-Amin, menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:
“Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang mencemari wajah Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Tuhan mereka.”
Abu ‘Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya. Abu ‘Ubaidah tak dapat manahan hatinya lagi; ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi manisnya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu, tercabut pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah, lalu ditariknya mata rantai yang kedua dan tercabut pulalah gigi manis Abu ‘Ubaidah yang kedua. Dan baiklah kita serahkan kapda Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan persitiwa itu;
“Di waktu perang Uhud dan Rasulullah SAW ditimpa anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke dua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah SAW kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur, maka kataku: ‘Ya Allah, moga-moga itu merupakan pertolongan!’ Dan kala kami sampai pada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu ‘Ubaidah yang telah mendahuluinya ke sana, serta katanya, “Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah SAW.” Saya pun membiarkanya, maka dengan gigi mukanya Abu ‘Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga sama tercabut, menyebabkan Abu ‘Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong.”
Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah dan kejujuran Abu ‘Ubaidah meningkatlah pula. Tat kala ia dikirim oleh Nabi SAW dalam ekspedisi “Daun Khabath” dengan memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu ‘Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekalah setiap prajurit setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis, maka bagian masing-maisng prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tat kala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut “khabath,” lalu mereka tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunkan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk air minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi “Daun Khabath.”
Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya.
Rasulullah amat sayang kepada Abu ‘Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadanya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama Islam, maka ujar beliau:
“Baiklah, akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya.”
Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah SAW ini, dan masing-masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.
Umar bin khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:
“Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dhuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dhuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh kesebelah kanan dan kiri. Maka saya pun mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau. Tetapi ia juga masih melayangkan pandangannya mencari-cari, hingga akhirnya tampaklah Abu ‘Ubaidah, maka dipanggilnya, lalu sabdanya: “Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq.”
Maka Abu ‘Ubaidah berangkatlah bersama orang-orang itu.”
Dengan peristiwa ini, tentu saja tidak berarti bahwa Abu ‘Ubaidah merupakan satu-satunya yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak. Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu, ia adalah salah seorang, mungkin juga satu-satunya orang pada masa itu, yang berprofesi da’i.
Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan di masa Rasulullah SAW , demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan; memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh ummat manusia.
Di bawah panji-panji Islam, kemana pun ia pergi, ia adalah seorang prajurit yang dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima; dan disaat ia sebagai panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hatinya, menyebabkan tidak lebih dari seorang prajurit biasa.
Kemudian, tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, tiba-tiba amirul mu’minin Umra mema’lumkan titahnya untuk mengangkat Abu ‘Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi diterimanya berita itu, dari utusan khalifah, dimintanya orang itu untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Sementara, Abu ‘Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki seorang zuhud, arif, bijaksana, lagi dipecaya, menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar.
Setelah kemenangan tercapai, barulah ia mendapatkan Khlaid dengan hormat dan ta’dhimnya untuk menyerahkan surat dari amirul mu’minin. Ketika Khalid bertanya kepadanya, “Semoga Allah memberimu rahmat wahai Abu ‘Ubaidah! Apa sebabnya anda tidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya?” Maka ujar kepercayaan ummat itu, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah.”
Demikianlah, Abu ‘Ubaidah telah menjadi panglima besar di Syria Di bawah kekuasaanya, bernaung sebagian besar tentara Islam, baik dalam luas wilayahnya, maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangannya. Tetapi bila anda melihatnya, maka sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari kaum muslimin.
Ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan keta’juban mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannya mereka lalu ia berdiri menyampaikan pidato.
Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkannya kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, kebesaran dan sifat amanahnya, “Hai ummat manusia?.!”
“Sesungguhnya saya ini adalah seorang muslim dari suku Quraisy. Dan siapa saja diantara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih takwa dari padaku, hatiku ingin sekali berada dalam bimbingannya?.!”
Semoga Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu ‘Ubaidah. Dan mengekalkan agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu.
Kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemimpin tentara Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya, begitu pun sebagai wali negeri diwilayah Syria yang semua kehendakanya berlaku dan perintahnya ditaati, maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan ketakwaanya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan.
Amirul Mu’minin umar bin Khattab datang berkunjung ke Syria, kepada para penyambutnya ditanyakannya:
“Mana saudara saya?”
“Siapa?,” ujar mereka.
“Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,” katanya pula.
Kemudian datanglah Abu ‘Ubaidah yang kemudian dipeluk oleh Amirul Mu’minin, lalu mereka pergi bersama-sama kerumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga terdapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana kendarannya.
Sambil tersenyum, Umar bertanya kepadanya, “Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu sebagaimana dilakukan oleh orang lain?” Maka jawab Abu ‘Ubaidah, “Wahai Amirul Mu’minin, ini menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat.”
Pada suatu hari di Madinah, tat kala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab sibuk menangani dunia Islam yang luas, disampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu ‘Ubaidah.
Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air. Dan air itu pun meleleh, hingga Amirul Mu’minin membuka matanya dengan tawakal menyerahkan diri. Dimohonkannya rahmat bagi sahabatnya itu, dan bangkitlah kanangan-kenangan lamanya bersama almarhum ra yang ditampungnya dengan hati sabar diliputi duka. Kemudian diulangi kembali ucapan berkenaan sahabatnya itu, katanya:
“Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang penuh di diami oleh tokoh-tokoh seperti Abu ‘Ubaidah.”
Orang kepercayan dari ummat ini wafat diatas bumi yang telah disucikannya dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan disana sekarang ini, yaitu dalam pangkuan tanah Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan.
Meskipun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia atau bagi anda, karena seandainya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak memerlukan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya yang tidak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu.

Senin, 24 Januari 2011

Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010

1.Hu Jianto
Hu Jintao Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Hu Jianto adalah presiden China. Saat ini, ia adalah orang yang paling berpengaruh di dunia. Pengaruhnya melebihi siapapun di planet ini. Ia memerintah lebih dari 1,3 miliar orang, seperlima dari penduduk dunia. Hu dapat mengalihkan sungai, membangun kota, melakukan sensor internet tanpa campur tangan dari para birokrat dan pengadilan. Baru-baru ini melampaui Jepang untuk menjadi negara terbesar kedua di dunia ekonomi. Cina diprediksi siap mengambil alih posisi AS sebagai perekonomian terbesar dunia dalam 25 tahun.
2.Barrack Obama
barrack+obama Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Sebagai Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama pantas disebut sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia. Ia dipilih menjadi presiden ketika AS dalam keadaan terpuruk. Setelah memberlakukan reformasi dalam berbagai bidang selama dua tahun pertamanya, akan sulit ditekan untuk melaksanakan agenda di dua berikutnya. Namun faktanya bahwa ia tetap komandan tertinggi, paling mematikan militer, pemimpin dunia dunia dan paling dinamis. Secara tidak resmi ia memegang gelar “Pemimpin Dunia Bebas.”
3.Abdullah bin Abdul Aziz bin Saud
king abdullah Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Ia adalah penguasa kerajaan padang pasir yang memiliki cadangan terbesar di dunia, dan dua tempat paling suci dalam Islam. Negara produsen minyak milik Saudi Aramco memiliki cadangan sebesar 266 miliar barel, atau seperlima dari seluruh total pasokan minyak dunia. Presiden Abdullah bin Abdul Aziz telah mendorong reformasi sosial dan hukum secara bertahap, dengan tetap menjaga hubungan baik dengan pendirian agama yang sangat konservatif.
4.Vladimir Putin
Vladimir Putin Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Vladimir Vladimirovich Putin adalah Perdana Menteri Rusia sejak 7 Mei 2008. Sebelumnya ia menjabat sebagai Presiden Federasi Rusia (2000-08). Ia menjabat Presiden Sementara Rusia pada 31 Desember 1999, saat menggantikan Boris Yeltsin dan kemudian terpilih menjadi presiden pada 7 Mei 2000. Pada 2004, ia terpilih kembali untuk masa jabatan yang kedua (dan terakhir sesuai dengan Konstitusi yang berlaku sekarang), yang berakhir pada 2008. Ia adalah mantan pejabat teras KGB lalu FSB, dinas intelijen Rusia. Putin fasih berbahasa Jerman. Putin juga adalah Ketua Umum Rusia Bersatu, partai politik dengan 70% kursi di parlemen Rusia, sejak April 2008.
5.Paus Benediktus XVI
paus+benediktus Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Paus Benediktus XVI bernama asli Joseph Alois Ratzinger), terpilih sebagai Paus Gereja Katolik Roma pada 19 April 2005. Dia adalah Uskup Roma, pemimpin Negara Kota Vatikan dan Gereja Katolik Roma termasuk Gereja Katolik Timur dalam komuni dengan Takhta Suci. Dia dilantik sebagai Paus secara resmi saat Misa Pelantikan Paus pada 24 April 2005.Ia adalah pemimpin umat Kristen di dunia yang membawahi 1,1 miliar jiwa, atau seperenam dari penduduk dunia.
6.Angela Merkel
angela Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Angela Merkel adalah wanita paling kuat di planet ini. Ia adalah Kanselir Jerman yang mengawasi ekonomi terbesar Eropa. Terkenal juara pasar bebas dan favorit dari bisnis besar, menawarkan sembilan perusahaan publik dengan penjualan tahunan lebih dari $ 70 miliar. Secara keseluruhan, ada 57 perusahaan Jerman di peringkat Forbes Global 2000 perusahaan terbesar di dunia publik, dengan penjualan agregat sebesar $ 1,7 triliun.
7.David Cameron
david+cameron Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
David William Donald Cameron (lahir di London, Inggris, 9 Oktober 1966; umur 44 tahun) adalah Perdana Menteri Britania Raya dan juga seorang pemimpin Partai Konservatif. Dalam pemilihan umum 2010, Partai Konservatif berhasil memperoleh hasil terbaiknya sejak tahun 1992 dengan perolehan kursi parlemen terbanyak meskipun masih kurang 20 kursi untuk mencapai mayoritas umum.
8.Ben Bernanke
bernake Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Ben Bernanke adalah Ketua Federal Reserve Amerika. Sekarang Bernanke dan perusahaan mengejar program tambahan untuk mengembangkan ekonomi dan melemahkan dolar. Mereka mengabaikan sinyal inflasi teruji waktu emas sementara secara terbuka mengakui keinginan yang berkelanjutan untuk mendevaluasi lebih lanjut dalam konser dengan pengeluaran isi dari nilai riil seluruh aset dalam mata uang dolar.
9.Sonia Gandhi
sonia+gandhi Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
Perempuan yang bernama asli Edvige Antonia Albina adalah politikus India kelahiran Italia, Presiden Kongres I, dan janda mantan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi. Pengaruh Gandhi tiada bandingnya, karena ia adalah perempuan perkasa yang memimpin lebih dari 1,2 miliar warga India. Namanya termasuk dalam peringkat tiga besar sebagai seorang politisi wanita terkuat di dunia menurut Majalah Forbes pada tahun 2004. Menurut jajak pendapat yang dilakukan surat kabar The Hindu bersama CNN-IBN, ia merupakan politisi paling populer tahun 2006. Sonia menolak jabatan perdana menteri, meskipun partainya memenangi pemilu tahun 2004. Sebanyak 28 persen responden menganggap Sonia paling pantas menduduki jabatan perdana menteri, sementara Perdana Menteri India Manmohan Singh memperoleh 12 persen. Sedang, mantan Perdana Menteri Atal Bihari Vajpayee yang tergusur dari jabatannya pada pemilu India 2004 menempati urutan kedua dengan 18,5 persen. Sonia Gandhi menolak jabatan PM setelah munculnya oposisi dari nasionalis Hindu yang menganggap dirinya bukanlah keturunan asli India. Keputusannya itu justru mengundang simpati rakyat India.
10.Bill Gates
bill+gates Orang Yang Paling Berpengaruh pada dunia 2010
William Henry Gates III atau lebih dikenal sebagai Bill Gates, adalah pendiri (bersama Paul Allen) dan ketua umum perusahaan perangkat lunak AS, Microsoft. Ia juga merupakan seorang filantropis melalui kegiatannya di Yayasan Bill & Melinda Gates. Ia menempati posisi pertama dalam orang terkaya di dunia versi majalah Forbes selama 13 tahun (1995 hingga 2007), namun sejak 5 Maret 2008 berada di posisi ketiga setelah pebisnis AS Warren Buffett dan pebisnis Meksiko Carlos Slim Helú.