Rabu, 15 Desember 2010

Sejarah Al Quran di Indonesia

Penyebaran islam dari awal kemunculannya sampai hari ini, diyakini tidak lepas dari sumber primer ajaran islam, dalam hal ini Al Quran. Bisa dikatakan bahwa sejarah islam merupakan sejarah Al Quran. Walaupun Al Quran lebih terfokus pada peninggalan-peninggalan tertulis dari tradisi intelektual. Oleh karena itu, sejarah Al Quran dalam konteks yang paling sederhana di Indonesia, dapat ditelusuri sejarah masuknya islam ke Indonesia.
Secara umum, para peneliti mengungkapkan dua penjelasan/teori populer masuknya islam ke Indonesia. Teori Timur, yaitu islam masuk di Indonesia pada abad VII. M atau I. H, yang disebarkan langsung melalui jalur perdagangan oleh orang Arab yang bermazhab Syafi’i di daerah pesisir (coast) pantai utara Sumatera (Malaka). Sementara itu, teori Barat bersumber dari perjalanan Marcopolo (1292). hal ini lebih diperkuat dengan catatan Ibnu Batutah yang menjelaskan berdirinya islam di pantai utara Sumatera pada abad XVIII M. Azyumardi Azra sendiri berkesimpulan bahwa islam masuk ke indonesia dibawa langsung dari Arabia oleh para misionaris islam profesional yang dengan jumlah besar datang ke Indonesia pada abad XVII M – XVII M, dan pertama-tama dipeluk oleh kalangan elit nusantara. Di samping kedua populer tersebut, terdapat teori lainnya dengan karakteristik tertentu. secara singkat, penulis dapat katakan bahwa islam telah masuk ke Indonesia secara perorangan pada abad VII M, yang kemudian menjadi kekuatan sosial dan politik pada abad XII M.
Islam yang masuk k Indonesia adalah islam yang dibawa langsung oleh ulama-ulama Arab yang juga bekerja sebagai pedagang. Sebagai pedagang yang lalu-lalang, mereka juga membawa info-info aktual dari Timur Tengah. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan banyaknya pemuda-pemuda Melayu dan Indonesia yang mengembara ke pusat peradaban islam di Timur Tengah untuk belajar islam. Ketika mereka kembali, tentu saja membawa info-info serta perkembangan aktual seputar Timur tengah yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan islam di Indonesia.
Kajian tentang tradisi Al Quran dan tafsir di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa Indonesianis seperti, R. Israeli dan A.H. Johns (Islam in the Malay world: an Explotary survey with the some refences to Quranic exegiesis, 1984), A.H. Johns (Quranic Exegiesis in the Malay world: In search of profile, 1998). P. Riddel (Earlist Quranic Exegetical activity in the malay speaking states, 1998).
Secara singkat, aktivitas seputar Al Quran di Indonesia dirintis oleh Abdur Rauf Singkel, yang menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Melayu, pada pertengahan abad XVII. Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh Munawar Chalil (Tafsir Al Quran Hidayatur rahman), A.Hassan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Quran Indonesia, 1935), Hamka (Tafsir Al-Azhar, 1973), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Quran, 1959), Halim Hassan (Tafsir Alquranul Karim, 1955), Iskandar Idris (Hibarna), dan Kasim Bakry (Tafsir Alquranul hakim, 1960). dalam bahasa-bahasa daerah, upaya-upaya ini dilakukan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta (Quran kejawen dan Quran Sandawiyah), Bisyri Mustafa Rembang (al-Ibriz, 1960), R.Muhammad Adnan (Alquran suci basa jawi, 1969) dan Bakry Syahid (Al-Huda, 1972). Sebelumnya pada 1310 H, Kiyai Mohammed Saleh Darat Semarang menulis sebuah tafsir dalam bahasa jawa huruf Arab. Ada juga karya yang belum selesai yang ditulis oleh Kiyai Bagus Arafah Sala, berjudul Tafsir jalalen basa Jawi Alus Huruf Arab. Bahkan pada 1924, perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala menerbitkan terjemah Alquran 30 juz basa Jawi huruf Arab Pegon. Aktivitas lainnya juga dilakukan secara persial, seperti penerbitan terjemah dan tafsir Muhammadiyah, Persis bandung dan Al Ittihadul Islamiyah [KH.Sanusi Sukabumi], beberapa penerbitan terjemah di Medan, Minangkabau dan kawasan lainnya, serta tafsir Alquran dalam bahasa jawa yang diterbitkan oleh Ahmadiah Lahore dengan nama Quran Suci Jawa Jawi. Upaya-upaya ini bahkan ditindak-lanjuti secara resmi oleh pemerintah Republik Indonesia. Proyek penerjemahan Al Quran dikukuhkan oleh MPR dan dimasukkan dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana. Menteri Agama yang ditunjuk sebagai pelaksana, bahkan telah membentuk Lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Alquran, yang pertama kali diketuai oleh Soenarjo. Terjemahan-terjemahan yang telah dicetak dalam jutaan eksampler tersebut, telah mengalami perkembangan yang akhirnya, atas usul Musyawarah Kerja Ulama Alquran ke XV (23-25 Maret 1989), disempurnakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Mushaf Alquran. Lajnah ini pertama kali memiliki 10 anggota: Hasbi Ash-Shiddieqi, Bustami A.Gani, Muchtar Jahja, Toha Jahja Omar, Mukti Ali, Kamal Mukhtar, Ghazali Thaib, Musaddad, Ali Maksum dan Busyairi Madjid. kemudian pada tahun 1990, lajnah ini dirombak dan diisi oleh 15 anggota: hafidz Dasuki (ketua), Ilham Mundzir (sekretaris), Mukhtar Nasir, Lutfi Ansori, Syafi’i Hazmi, Muhammad As-Sirri, Aqib Suminto, Shawabi Ihsan, Nur Asyiq, Wasit Aulawi, Quraish Shihab, Satria Efendi, Muhaimin Zein, Badri Yunardi dan Surjono.
Upaya-upaya tersebut di atas, serta tuntutan masyarakat pecinta Alquran, mengundang para cendekia untuk menulis dan menerjemahkan berbagai karya di seputar Alquran. Kepustakaan-kepustakaan tersebut telah terisi dengan karya-karya Hasbi Ash-Shiddieqi (Sejarah dan pengantar ilmu Al Quran, 1980), beberapa textbook perguruan tinggi, terjemah karya Manna al-Qattan, serta beberapa karya penulis sendiri. Khusus dalam wacana sejarah Alquran, beberapa karya dan terjemahan telah muncul, seperti Adanan Lubis (Tarikh Alquran, 1941), Abu Bakar Aceh (Sejarah Alquran, 1986), Mustofa (Sejarah Alquran, 1994) dan sebagainya. Bahkan Tarikh Alquran karya az-Zinjani (Wawasan baru Tarikh Alquran, 1986) dan al-Abyari (Sejarah Alquran, 1993) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
penyebaran islam di Indonesia diyakini secara konvensional, melalui proses penyebaran yang sangat damai dengan memakai pendekatan sufisme. Tokoh-tokoh besar nusantara, seperti Hamzah fansuri, Samsuddin Sumatrani, ar-Raniri, dan Wali Songo dikenal sebagai tokoh-tokoh sufi dan kalam dengan karakternya masing-masing. Dengan pendekatan sufisme ini, islam diterima secara damai, tanpa melalui perang fisik yang berarti. Pendekatan sufisme/kalam ini, tentu saja akan mempengaruhi cara berfikir jaringan ulama generasi selanjutnya, termasuk ketika diterapkan dalam tafsir atau terjemahan Alquran.
Tokoh sufi nusantara, seperti hamzah Pansuri dan Samsuddin Sumatrani seringkali mengutip ayat-ayat Alquran yang kemudian difahami dalam konteks mistisme. Ada riwayat kecil menyebutkan bahwa masa kedua sufi itu, telah muncul tafsir kecil terhadap surah Al-Kahfi yang diperkirakan dan dinilai mengikuti tradisi tafsir Al-Khasin.
Abdur Rauf Sengkel belajar di Saudi Arabia sejak 1640, dan diperkirakan kembali pada 1661. Beliau inilah yang mempelopori kajian-kajian tentang Alquran, ketika menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad VII. Tafsir tersebut bernama Tarjuman al-Mustafid. Sebagai perintis, tafsir ini mendapat temapt, bahkan tidak hanya di Indonesia. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), Mekkah (al-Amiriah).
Dalam kajian beberapa ahli, ada dua pendapat besar tentang tafsir ini, pertama: Snouck Hurgronje menganggap bahwa terjemah tersebut lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan tafsir al-baidawi karya as-Sinkili itu juga mencakup terjemahan tafsir Jalalain. Voorhove, murid Horgronje setelah mengikuti pendapat gurunya dan Rinkes, berpendapat bahwa tafsir tersebut mengambil sumber dari berbagai karya tafsir berbahasa Arab. Kedua: Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuman Al-Mustafid adalah terjemahan tafsir jalalain, hanya pada bagian tertentu saja tafsir tersebut memanfaatkan tafsir al-baidaiwi dan tafsir al-Khanzin. Singkel cenderung memilih tafsir Jalalain, diperkirakan karena secara emosional, Singkel memiliki runtutan sanad itu dapat ditelusuri melalui gurunya, baik al-Qusyasyi atau al-Kurani.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa metodologi Singkel dalam Tarjuman Mustafid sangat sederhana. Tafsir Jalalain yang dikenal sangat ringkas dan padat, itu setelah diterjemahkan menjadi lebih ringkas. Singkel menerjemahkan kata perkata sambari menahan diri untuk menambahkan pemahaman-pemahamannya sendiri. Uraian-uraian linguistic yang menjadi salah satu karakter Tafsi Jalalain serta penjelasan yang tidak perlu, ditinggalkan oleh Singkel. Penjelasan yang dinilai cukup panjang dalam Tafsir Jalalain dan diperkirakan akan memalingkan perhatian, tidak diterjemahkan oleh Singkel. menurut penilaian Johns, ini dilakukan oleh Singkel agar umat islam Melayu lebih dapat memahami dan mencerna karyanya dengan mudah. Singkel memang tidak menulis angka tahun ketika beliau menyelesaikan tafsir ini. Hasmi menilai bahwa karya ini ditulis ketika Singkel mengadakan perjalanan ke India. Pendapat ini ditentang keras oleh Azyumardi Azra, mengingat Singkel tidak memiliki route perjalanan ke India dalam sejarah hidupnya. Sulit bagi Singkel untuk menulis karya besar dalam perjalanan. Justru perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh semakin mempertegas kenyataan bahwa karya ini ditulis di Aceh.
Upaya rintisan Singkel ini kemudian diabadikan oleh seluruh pecinta Alquran dan tafsir di tanah melayu dengan menjadikan tafsir Jalalain sebagai tafsir standar atau tafsir pemula, yang dipelajari oleh hampir seluruh pesantren di nusantara. Karya Singkel ini dinilai sebagai pondasi dasar bahkan jembatan upaya tarjamah tafsiriyah di tanah Melayu. Karya-karya tafsir dari anak bangsa berikutnya, baru bermunculan dalam lima puluh tahun terakhir ini, setelah Tarjuman Mustafid ini bertahan selama tiga abad. Oleh karena itu, mengkaji sejarah Alquran di Indonesia, tanpa melibatkan Tarjuman Mustafid, karya Abdur Rauf Singkel ini, akan menjadi kajian yang kehilangan akar sejarahnya. Hal ini sangat terasa dalam upaya Federspiel yang mengkaji Alquran di Indonesia, yang memulai kajiannya hanya dari Mahmud Yunus sampai Quraish Shihab, tanpa memberikan penjelasan yang berarti, mengapa ia tidak menyinggung penulisan tafsir di Indonesia yang telah muncul sebelum Mahmud Yunus. Walaupun judul asli buku ini adalah Popular Indonesian Literatures on The Quran. Padahal Tarjuman Mustafid merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah keilmuan islam, khususnya tafsir di tanah Melayu. Federspiel juga tidak menyebut terjemah atau tafsir yang ditulis ulama Indonesia dalam bahasa daerah seperti al-Ibriz atau Al-Quran Suci Basa Jawi yang juga sudah bermunculan pada tahuan 60-an.
Melirik kenyataan tersebut, tesis Federspiel ketika menciptakan periodesasi karya seputar Alquran di Indonesia. Dalam buku tersebut, sangat rentan untuk dipertahankan. Seperti diketahui, Federspiel membagi karya-karya Indonesia seputar Alquran menjadi tiga babak/periode yang ia sebut sebagai generasi. Generasi Pertama, ditandai dengan gerakan terjemah atau tafsir yang berpisah-pisah, mulai dari abad XX sampai awal tahun 60-an. Federsfiel secara tegas, tidak menyebutkan karya-karya yang dapat mewakili generasi pertama. Generasi Kedua kemudian muncul sebagai penyempurna metodologis atas karya-karya generasi pertama. Penerjemahan generasi kedua yang muncul pada pertengahan tahun 60-an ini, biasanya dibubuhi dengan catatan khusus, catatan kaki, bahkan disertai dengan indeks yang sederhana. Al-Furqan (A.Hassan, 1928), tafsir Alquranul Karim atau Tafsir Quran Indonesia (Mahmud Yunus, 1935) serta Tafsir Quranul (Zainuddin Hamidi dan Fackhruddin, 1959), dianggap sebagai karya-karya yang mewakili generasi kedua. Sementara itu, terjemah atau tafsir lengkap, menandai munculnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-masing. tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955) dianggap mewakili generasi ketiga.
Tiga karya yang mewakili generasi kedua, dianggap memiliki format yang sama. teks Arab ditulis di sebelah kanan halaman. Sementara itu, terjemahan di sebelah kiri, serta catatan yang merupakan tafsir. Kesamaan karakter lainnya terlihat pada penggunaan istilah yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia, sehingga ketiganya memberikan penjelasan khusus. Ketiganya juga sama-sama memberikan penjelasan tentang kandungan setiap Surah dalam Alquran. Di tempat lain, dua dari tiga karya tersebut sama-sama membicarakan sejarah Alquran.Mahmud Yunus dan Hamidi, juga sama-sama memberikan indeks sederhana dengan dibubuhi oleh angka-angka yang merujuk pada kalimah tertentu.
Sementara itu, tiga tafsir yang mewakili generasi ketiga, dianggap telah menggunakan metodologi penulisan kontemporer. Ketiga karya tersebut diawalai dengan sebuah pengantar metodologis serta beberapa materi Ulumul Quran. Hasbi dan Hamkamengelompokkan ayat-ayat secara terpisah antara satu sampai lima ayat kemudian ditafsirkan secara luas. Hanya karya Hassan yang formatnya masih serupa dengan karya-karya generasi kedua. Hassan menempatkan ayat dan terjemahannya secara berurutan dan kemudian diikuti dengan catatan kaki di bawahnya, sebagai tafsir. Ketiga tafsir ini juga menyajikan bagian ringkasan sebagai pokok-pokok pikiran dalam suatu surah tertentu. dari ketiga tafsir di atas, hanya Hamka yang menyajikan tafsirnya dengan uraian-uraian tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa kontemporer. Bisa dimaklumi, mengingat Hamka menyelesaikan tafsirnya ketika masih meringkuk di penjara Orde Lama.
Setelah seluruh karya ketiga generasi tersebut, maka bermunculanlah berbagai karya terjemah atau tafsir, baik yang dikerjakan secara individual ataupun dikoordinir oleh lembaga atau badan tertentu. Aktivitas ini bahkan juga dilakukan oleh Negara, dalam hal ini Departemen Agama yang kemudian pada akhirnya memunculkan terjemah atau tafsir resmi/negara. Federspiel bahkan mengemukakan target-target tertentu dalam proyek tersebut. Pertama: Negara telah terlibat dalam penyebaran nilai-nilai islam, yang terbukti dengn memasukkan proyek tersebut dalam pola pembangunan lima tahun, yang ditetapkan dengan keputusan MPR. Kedua: Karya resmi tersebut juga telah memperlihatkan keahlian sarjana-sarjana Indonesia dalam tafsir. Krtiga: Proyek tersebut merupakan standar dalam tafsir dan terjemahan Indonesia lebih lanjut. Keempat: Salah satu kekuatan sosial/politik Indonesia yang biasa disebut Muslim Nasionalis, memantapkan diri dengan pandangan ideologis yang tercermin dalam tafsir tersebut. Bahkan Federspiel menganggap pandangan ideologis tersebut cukup mendominasi penafsiran Departemen Agama. Referensi terjemahan serta tafsir departemen Agama yang dikategorikan Tafsir Ilmi dan diasumsikan sangat mengacu pada tafsir Al-Maragi, lebih memperkokoh tuduhan itu.
bagian pendahuluan setiap surah dalam Alquran dan tafsirnya, menyajikan berbagai data dasar tentang suatu surah: waktu dan tempat turunnya serta munasabahnya. Pada bagian yang disebut pokok bahasan, selalu ada penjelasan tentang beberapa hal. Seperti: Keimanan, penyembahan, hukum, janji, peringatan, kisah-kisah serta ibarat-ibara. Khusus pada Alquran dan terjemahannya, bab pendahuluan yang terdiri dari ratusan halaman, juga memuat berbagai materi Ulumul Quran. Pada 7 Februari 1990, Dewan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsiran Alquran mengeluarkan edaran yang mencakup beberapa hal dalam rangak perbaikan dan penyempurnaan ALquran dan terjemahannya,. Pertama: Sedapat mungkin mengikuti tata bahasa Indonesia yang benar. Kedua: Menggunakan istilah bahasa Indonesia yang betul-betul mewakili kata-kata bahasa Arabnya. Ketiga: Membuang beberapa bab mukadimah dan memakai kata yang dianggap erat hubungannya dengan Alquran. keempat: Menggunakan mushaf Alquran standar.
Tafsir Al Quran Dewasa ini di Indonesia
Maraknya syiar islam dewasa ini di indonesia, ikut mengundang beberapa ahli untuk menerjemahkan berbagai karya tafsir besar dalam bahasa Indonesia. Sampai hari ini, tercatat beberapa tafsir kontemporer berbahasa Arab yang telah diterbitkan oleh penerbit-penerbit Indonesia. Seperti Tafsir Al-Maragi (Bahrun Abu Bakar), Tafsir Jalalain (Wahyuddin Syaf dan Bahrun Abu Bakar), Asbab an-Nuzul (Qomaruddin Saleh), Tafsir Ibnu Katsir, Al-Asas fi Al-Tafsir (GIP), Tafsir Al-Muntakhab (Majlis A’la) dan sebagainya. karya-karyaterjemahan ini, pada akhirnya mendukung system pengajaran tafsir di perguruan-perguruan tinggi islam di Indonesia, yang menurut Quraish Shihab dan Jalaluddin Rahmat memiliki kelemahan-kelemahan tertentu.
Metode serogan di pesantren dan muhadarah di perguruan tinggi, hanya akan mengantar peserta didik menguasai produk tafsir, bukan ilmunya. Kelebihan metode serogan adalah pemahaman peserta didik terhadap seluruh ayat, yang dikemukakan serta metodologi mufassirnya. Sementara itu, kelebihan metode muhadarah lebih terletak pada sisi efisiensi dan spesialisasi. Oleh karena itu, Quraish Shihab menawarkan beberapa hal, seperti pendefinisian dan pengajaran kaidah tafsir, pengenalan kitab-kitab tafsir serta metode pengajaran tafsir yang sesuai dengan teori komunikasi modern.

diambil dari  : http://luluvikar.wordpress.com/2004/12/22/arkeologi-pemikiran-tafsir-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar